Sejak bencana banjir dan longsor melanda sejumlah wilayah di Sumatera, nama Zulkifli Hasan akrab disebut “Zulhas” mencuat tajam di media sosial. Banyak netizen mengaitkan naiknya kekayaan pribadinya dengan tudingan perambahan hutan dan pelepasan kawasan hutan: sehingga dianggap sebagai salah satu biang krisis lingkungan yang mereka anggap memicu bencana.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terbaru, kekayaan Zulhas meningkat dari sekitar Rp 32,6 miliar pada 2023 menjadi Rp 49,65 miliar pada 2024 artinya ada kenaikan sekitar Rp 17,04 miliar dalam setahun.
Informasi mengenai lonjakan harta ini kemudian tersebar luas dan cepat memicu spekulasi. Sejumlah unggahan dan komentar di media sosial, serta kolom komentar posting‑an publik, tak segan mengaitkan kekayaan tersebut dengan tuduhan bahwa Zulhas telah memberi izin pembukaan hutan besar‑besaran pada masa jabatannya sebagai Menteri Kehutanan. Tuduhan itu pun meluas, sampai kepada narasi bahwa Zulhas “bertanggung jawab” atas kerusakan lingkungan yang kemudian memunculkan krisis ekologis seperti banjir, longsor, atau degradasi hutan.
Salah satu pokok tuduhan terfokus pada apa yang disebut pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare di era Menteri Kehutanan Zulhas. Tuduhan ini mendapat sorotan keras: menurut beberapa kalangan, kawasan hutan di Riau dan area lain dialihkan statusnya lalu dibuka untuk kegiatan komersial, termasuk perkebunan sawit.
Namun, kubu pendukung Zulhas membalas keras tudingan tersebut. Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan era Zulhas, Hadi Daryanto, menyatakan bahwa pelepasan kawasan 1,6 juta hektare itu sejatinya adalah upaya administratif: revisi tata ruang dan legalisasi lahan yang sudah terpakai warga, bukan izin baru untuk korporasi sawit.
Dalam dokumen resmi SK Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut‑II/2014 dan SK 878/Menhut‑II/2014 kebijakan itu tercatat sebagai perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Kepada publik, Hadi dan pendukung kebijakan ini menegaskan: tujuan utamanya adalah memberi kepastian hukum bagi warga yang sudah lama mendiami atau memanfaatkan lahan tersebut bukan membuka peluang deforestasi besar‑besaran sebagaimana tuduhan menyudutkan.
Sejumlah figur publik pun mengomentari polemik ini. Misalnya Habiburokhman, yang menilai tuduhan terhadap Zulhas sebagai penyebab kerusakan hutan sekaligus bencana adalah prematur. Menurutnya, menyalahkan satu individu atas kerusakan lingkungan dan bencana besar adalah “tersirat politis,” dan menggeser fokus dari upaya kemanusiaan dan penanggulangan bencana.
Di tengah polemik ini, publik terbagi:
- Sebagian menuntut transparansi penuh: mereka mendesak agar riwayat izin lahan, pelepasan hutan, dan kekayaan pejabat dikaji ulang untuk memastikan apakah ada konflik kepentingan, keuntungan pribadi, atau praktik pengelolaan hutan yang merugikan lingkungan dan masyarakat.
- Sementara bagian lain mengingatkan agar tuduhan tidak digeneralisasi secara emosional: bahwa proses perubahan tata ruang bisa punya banyak alasan – seperti legalisasi lahan permukiman, fasilitas umum, atau lahan masyarakat dan tidak selalu berarti eksploitasi.
Kasus ini menyorot dua isu besar sekaligus: transparansi kekayaan pejabat publik, dan tata kelola hutan serta sumber daya alam terutama bagaimana kebijakan masa lalu bisa disalahgunakan, atau setidaknya dipersoalkan ulang jika dampaknya dianggap merugikan.